Warga Banten Minta Korsel Hentikan Pendanaan PLTU Jawa 9

PLTU
Ilustrasi. Warga Banten meminta Korea Selatan menghentikan pendanaan PLTU Jawa 9.

Jakarta, CNN Indonesia — Warga Banten dan Korea Selatan mengajukan gugatan hukum preliminary injunction terhadap lembaga keuangan publik asal Negeri Ginseng ke Pengadilan Tinggi Tingkat I Korsel. Gugatan menuntut agar lembaga keuangan publik terkait menghentikan pendanaan bagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Jawa 9 dan 10 yang berlokasi di Suralaya, Banten.

“Kami berharap, dari gugatan ini, pengadilan Korea [Selatan] mengeluarkan surat untuk melarang pihak-pihak tergugat meneruskan tindakannya, dalam hal ini investasi dan asuransi PLTU,” ujar Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi dalam konferensi pers di Hotel Akmani, Jakarta, Kamis (29/8).

Lembaga keuangan Korsel yang menjadi tergugat di antaranya Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (KEXIM), dan Korea Trade Insurance Corporation (K-Sure).

Lihat juga: Megawati: Ibu Kota Baru Jangan Seperti Jakarta

Ketiga lembaga itu, kata Yuyun, diketahui bakal menaruh investasi sebesar US$3 miliar untuk membangun PLTU Jawa 9 dan 10 dengan kapasitas 2 ribu MW.

Pelestarian lingkungan hidup dan komitmen Korsel terhadap perubahan iklim menjadi dasar dilayangkannya gugatan. Pasalnya, kata Yuyun, PLTU bakal berdampak buruk terhadap lingkungan di Banten secara khusus dan iklim secara global.

“Mengenai potensi penggunaan batubara untuk PLTU Jawa 9 dan 10, yakni dengan kapasitas 2 ribu MW yang direncanakan, maka akan membutuhkan sekitar 1.100 ton per jam batubara yang akan dibakar untuk menjalankan PLTU. Yang artinya dibutuhkan 9,5 juta ton batbara per tahunnya,” ujarnya.

Jumlah batubara yang dibakar itu, dikatakan Yuyun, hanya akan menambah polusi udara untuk Banten, termasuk juga DKI Jakarta.

Lihat juga: Jokowi Tidak Pakai Baju Adat Pada Saat Pimpin Upacara Penurunan Bendera

Yuyun menyebut, saat ini terdapat 52 PLTU batubara di Banten. Data Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara menyebut, dalam setahun, seluruh PLTU membakar 1,83 juta ton batubara. Jumlah itu, kata dia, akan bertambah signifikan jika PLTU Jawa 9 dan 10 dibangun dan beroperasi.

Rugikan Negara 

Selain merusak lingkungan, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 ini juga dinilai akan merugikan perekonomian negara. Pemerintah disebut harus menambah anggaran untuk membayar listrik yang diproduksi.

“Sebetulnya dengan kapasitas PLTU Jawa 9 dan 10 yang besar ini sebetulnya menimbulkan masalah, di mana akan menjadi pemborosan dan kerugian ekonomi buat Indonesia,” ujar Koordinator Regional Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, Tata dalam kesempatan yang sama.

Lihat juga: Belum Rampung, Polri Tunda Umumkan Investigasi Listrik Padam

Pemborosan, kata Tata, terjadi karena PLN menggunakan skema perjanjian ‘take or pay’ dalam kerja sama pengadaan listrik dengan perusahaan. “Itu membuat PLN tetap harus membayar kepada perusahaan, meski listrik yang terpakai kurang dari prediksi awal,” tambahnya menjelaskan.

Tata juga mengatakan bahwa pertumbuhan permintaan listrik dalam kurun waktu lima tahun terakhir meleset dari prediksi PLN. Akibatnya, lanjut dia, tingkat pemanfaatan pembangkit listrik hanya 57,3 persen khusus pada jaringan di Jawa-Bali.

“Jadi bisa dibayangkan di Jawa-Bali ada 42 persen listrik yang tidak dipakai. Berarti kalau kita menghitung secara sederhana, ada cost tambahan sekitar 42 persen yang sebenarnya tidak perlu,” ujarnya.

Peletakan batu pertama pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2017 lalu. Rencananya, pembangunan akan dikerjakan oleh PT Indoraya Tenaga, anak usaha Indonesia Power bersama Doosan Heavy dan Korea Midland Power.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *