Open Posko, Aliansi LSM Mengungkapkan Kelebihan Negatif dari Peraturan Zonasi

Aliansi

Jakarta, Posmetro Indonesia – Sejumlah organisasi non-pemerintah yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari mengkritik pembuatan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang dianggap merugikan warga.

AMUK Bahari melibatkan sejumlah LSM seperti JATAM, WALHI Jakarta, LBH Jakarta, YLBHI, Komitmen Nelayan Tradisional Dadap, Forum Peduli Pulau, FWI, Solidaritas Perempuan Jabodetabek.

Data AMUK Bahari mencatat bahwa 21 provinsi telah melewati Peraturan Zonasi Pesisir hingga 2019, 13 provinsi lainnya masih dalam tahap diskusi termasuk DKI Jakarta.

Perda itu sendiri merupakan amanat dari tiga Undang-Undang. Yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 bersamaan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan .

Ketiga undang-undang tersebut mengamanatkan pentingnya perumusan peraturan zonasi pesisir (RZWP3K) sebagai dasar pemberian izin lokasi dan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di lapangan, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Ayu Eza, mengatakan bahwa sejumlah daerah yang telah meratifikasi atau memproses peraturan daerah sebenarnya memicu kerugian di pihak masyarakat.

Lihat juga: Di KPT OTT di Kepulauan Riau, Ada Pemimpin Daerah Yang Aman

“Masyarakat tidak terlibat, hanya tiba-tiba keluar aturan. Langsung keluar zona apa saja,” kata Ayu di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (11/7).

Zona yang termasuk dalam peraturan daerah disebut Ayu, yang mengambil banyak daerah yang sebenarnya telah digunakan oleh masyarakat. Aliansi Bahari untuk Keadilan (AMUK) mencontohkan Peraturan Zonasi Pesisir di Lampung dan Kalimantan.

Berdasarkan data dari AMUK Bahari dalam Peraturan Daerah Zona Pesisir Provinsi Lampung Nomor 1 pada tahun 2018, tanah untuk pemukiman nelayan hanya dialokasikan untuk area seluas 11,6 hektar.

Selain itu, Perda Zonasi Wilayah Pesisir di Kalimantan Selatan hanya mengalokasikan 37 hektar untuk pemukiman yang dihuni oleh 9.715 keluarga nelayan.

Di Jakarta, Peraturan Zonasi Pesisir yang masih dibahas juga memicu protes dari beberapa komunitas pesisir yang merasa dirugikan,

Ketua Divisi Jaringan dan Kampanye YLBHI Arif Yogiawan mengingatkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk memprioritaskan kepentingan masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan Zonasi Pesisir.

“Pertanyaan yang paling penting adalah dimensi apa yang paling banyak digunakan atau pendekatan yang paling banyak digunakan dalam pengaturan zonasi ini? Mungkin bukan dimensi masalah kepentingan masyarakat atau budaya atau lingkungan, mungkin dimensi pemikiran investasi dan sebagainya,” kata Yogi.

Lihat juga: Tim Gabungan Juga Memiliki Motif Politik Di Balik Kasus Novel Ini

Yogi mengatakan berbagai dimensi pemikiran mulai dari kepentingan masyarakat, budaya, ekonomi. Keamanan dan hal-hal lain menjadi penting untuk dasar pembentukan peraturan daerah.

Selain itu, pemikiran seperti peluang wisata, maka pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga bisa menjadi peluang investasi bagi sejumlah pihak.

Menurut Yogi, jika implementasi peraturan ini memang merugikan banyak orang, itu berarti pemerintah tidak memikirkan kepentingan masyarakat terlebih dahulu.

“Ada yang melihatnya sebagai tempat yang baik untuk pariwisata, banyak dimensi pemikiran. Ada yang menganggap posisinya bagus untuk terumbu karang,” jelas Yogi.

“Jangan sampai didominasi oleh satu perspektif,” tambahnya.

Yogi juga mengatakan bahwa masyarakat akan mengambil bagian dalam pembentukan peraturan daerah. Jika tidak, komunitas akan semakin diabaikan. Selain itu, sejumlah pihak dapat menaruh minat untuk menetapkan peraturan tersebut.

“Jika dalam kondisi seperti itu maka partisipasi masyarakat tidak bertambah, sehingga masyarakat semakin terkikis karena kondisinya tidak seimbang,” kata Yogi.

Buka Pos Komando Pengaduan

Berkaca pada dampak negatif dari Peraturan Zonasi Pesisir di sejumlah daerah. AMUK Bahari membuka pos pengaduan untuk masyarakat pesisir yang akan atau telah dipengaruhi oleh peraturan tersebut.

Lihat juga: Galih Ginanjar Diperiksa 13 Jam Tentang Kasus ‘Bau Ikan Asin’

Ayu mengatakan desakan untuk membuka pos adalah untuk mengumpulkan data tentang masyarakat pesisir yang merasa terkena dampak dari semua provinsi. Dia juga ingin masyarakat peduli dengan menentang peraturan dan berpartisipasi dalam pembentukannya.

“Jadi sebenarnya para nelayan yang merupakan klien LBH Jakarta menuai beberapa masalah seperti reklamasi, dan ancaman penggusuran, sengketa tanah, salah satunya seperti di Pulau Pari,” kata Ayu.

Posting ini akan dibuka selama satu bulan, dari 17 Juli hingga 17 Agustus 2019. Pendaftaran ke pos pengaduan dapat dilakukan dengan mengisi formulir online di situs www.kiara.or.id/data-form-pengaduan-amuk -bahari.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *