Jakarta, Posmetro Indonesia – Status Bapak Reformasi yang disandang Amien Rais kembali mendapat sorotan. Hal ini dipicu ancamannya mengerahkan people power terkait potensi kecurangan Pilpres 2019.
Amien, lewat pernyataan itu dianggap tidak percaya mekanisme penyelesaian konflik dalam negara demokrasi, hal yang pada 1998 silam dia perjuangkan bersama mahasiswa dan rakyat, ketika turun ke jalan menumbangkan rezim Orde Baru.
Secara lepas people power bisa didefinisikan sebagai pengerahan kekuatan massa untuk mengganggu bahkan meruntuhkan wacana atau dominasi sebuah rezim kekuasaan yang mapan.
Istilah people power sendiri mulai mendunia ketika rangkaian demonstrasi besar terjadi di Filipina, 33 tahun lalu yang berujung kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos.
People power juga bisa merujuk pada peristiwa politik di Indonesia sepanjang 1998, ketika para mahasiswa dan rakyat turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto mundur.
Ada kemiripan antara rezim Marcos di Filipina dengan Soeharto di Indonesia yang sama-sama memicu people power. Keduanya dikenal sebagai pemimpin otoriter.
Lihat juga : Jokowi ‘Hopeless’ Kemudian Prabowo Dominasi di Satu Segmen
Marcos, sebelum dilengserkan lewat people power, sudah berkuasa sebagai presiden selama 21 tahun. Dia juga sempat memberlakukan darurat militer sepanjang 9 tahun untuk menekan kebebasan berpendapat atau berserikat.
Hal serupa dialami Indonesia di bawah Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dinilai banyak pengamat telah menutup saluran demokrasi. Kebebasan pers tak ada. Militer menguasai banyak instansi sipil, dan korupsi merajalela.
Dari gejala otoritarianisme Marcos dan Soeharto itu, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menyebut tak satu pun dari gejala tersebut ada di Indonesia.
Menurut Ujang, kebebasan berpendapat, lembaga pers, dan pemilu di Indonesia masih bisa dikawal. Lembaga-lembaga tersebut juga masih mampu menunjang jalannya demokrasi di Indonesia.
“Sesungguhnya people power itu ada dan terjadi pada negara-negara nondemokratis atau otoriter saja,” ucap Ujang via telepon pada Rabu (4/4).
Lihat juga : Buka Pameran di Kemenperin, JK Goreskan Angka Satu
People power yang dikatakan Amien, menurut Ujang, bersifat simplistik. Ucapan itu keluar lantaran Amien menempatkan dirinya sebagai oposisi.
“Jangan sampai karena Pak Amien berada di posisi oposisi, semua yang dilakukan pemerintah salah, kan bahaya,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ujang mengaku meragukan status Amien Rais sebagai tokoh reformasi. Sebab, kata dia, ancaman Amien bertentangan dengan prinsip negara demokrasi.
Proses demokrasi yang berjalan disebut harus berdasarkan penegakan hukum.
“Di negara demokrasi, dia selalu berjalan dengan hukum. Jadi kalau ada kecurangan maka ke MK,” kata Ujang.
Ancaman yang dilontarkan Amien Rais disebut Ujang justru malah menambah benih konflik di masa mendatang alih-alih menguatkan demokrasi di Indonesia.
Perang Urat Syaraf
Nama Amien memang lekat dengan perlawanan, terutama selama rentetan peristiwa yang akhirnya melahirkan Reformasi ’98.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini sering hadir dari satu kampus ke kampus lain untuk membeberkan segala penyimpangan Orde Baru ke para mahasiswa.
Lihat juga : Veteran TNI Bandingkan Pilpres 2019 dengan Agresi Belanda
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego menilai ancaman yang dilontarkan Amien Rais soal people power akan sia-sia. Tanpa ada pemerintahan yang terbukti otoriter, ia ragu people power ala Amien bakal laku di Indonesia.
“Siapa sih yang bisa dibohongi untuk mendukung people power?” ucap Indria skeptis.
Atas dasar itu lah, Indria menilai ucapan Amien yang ingin people power tak lebih sebagai peringatan sekaligus perang urat syaraf.
Peringatan karena penyelenggara pemilu selalu berpotensi membuat kekeliruan, dan perang urat syaraf karena capres dan partai yang ia dukung terancam kalah di pemilu ini.
“Ini cuma perang urat syaraf. Yang penting KPU, Bawaslu, polisi, tentara, jaksa, hakim, bekerja dengan baik pasti rakyat akan susah mendukung people power,” ujar Indria.