Kerja Paksa

Jakarta, CNN Indonesia — Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania menyebut pemerintah diam soal dugaan ‘kerja paksa‘ ribuan mahasiswa Indonesia program kuliah kerja/magang di China dan Taiwan.

Buktinya, Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania Galant Al Barok mengatakan minim respons atas laporan yang disampaikan PPI ke Kedutaan Besar RI di Beijing. Padahal, laporan itu sudah disampaikan sejak tahun lalu.

“KBRI hanya menerima laporan kami dan meneruskannya kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) agar dapat memverifikasi agen-agen perekrut tersebut. KBRI Beijing tidak bisa intervensi ke dalam ranah universitas di China,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Minggu (19/5).

Berdasarkan pernyataan PPI Kawasan Asia-Oseania, setidaknya 5.000 mahasiswa Indonesia di China dan Taiwan terjerat praktik kuliah kerja yang sarat eksploitasi. Salah satu buktinya, terkait jam kerja yang berlebihan.

Lihat juga: Kedubes AS Peringatkan Warganya Hindari Demo Pilpres 22 Mei

Jumlah itu didapat dari investigasi Satgas Anti Kerja Paksa yang dibentuk PPI Kawasan Asia-Oseania, beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.

Badan itu telah mencari informasi dan melakukan verifikasi terhadap para mahasiswa yang menjalani program kuliah kerja selama empat bulan sejak Februari 2019.

Tim satgas menemukan ribuan mahasiswa dipekerjakan selama lima hari dan hanya berkuliah dua hari dalam sepekan. Tak hanya itu, para mahasiswa juga wajib untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.

Menurut informasi yang didapat satgas, para siswa akan dikenakan potongan gaji jika tidak bekerja atau absen setiap harinya. Perihal pendapatan, para mahasiswa disebut mendapat gaji hanya sebesar 500-1.000 yuan atau Rp1 juta-Rp2 juta.

Lihat juga: Pakistan Perpanjang Masa Larangan Melintasi Ruang Udara

Jumlah tersebut didapat mahasiswa setelah dipotong biaya kuliah sebesar 700 yuan atau Rp1,4 juta.

“Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan mendapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik,” bunyi pernyataan PPI Kawasan Asia-Oseania.

Tim satgas melihat mekanisme perekrutan para mahasiswa terorganisir. Eksploitasi itu diduga berawal dari sebuah agen pendidikan di Surabaya yang membuat perekrutan dan menargetkan agar siswa lulusan SMA masuk dalam praktiknya.

Tim satgas PPI tersebut tak mengungkap nama agen tersebut, maupun nama universitas yang menerima ribuan pelajar RI ini.

Kasus ini bukan yang pertama kali dikeluhkan. Pada awal 2019, kasus serupa juga diduga terjadi di Taiwan. 

Galant mengatakan PPI China dan PPI Asia-Oseania telah melaporkan dugaan eksploitasi pelajar RI di China, bahkan sebelum kasus di Taiwan ramai dibicarakan. 

“Kami sudah lapor sejak tahun lalu bahkan sebelum ramai isu di Taiwan. Kami melaporkan kasus di China sejak awal 2018,” kata Galant. 

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI melalui Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Lalu Muhamad Iqbal, dan Duta Besar RI di Beijing Djauhari Oratmangun belum bisa dimintai keterangan soal laporan ini. Keduanya belum merespons pertanyaan CNN

Lihat juga: PM Selandia Baru Sindir AS Soal Pengendalian Senjata Api

Pada Januari lalu, sebanyak 300 pelajar RI di salah satu universitas Taiwan diduga menjadi korban eksploitasi akibat skema program kuliah-magang.

Dugaan tersebut muncul setelah salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT) Ko Chih-en mengungkap hasil investigasinya dalam rapat legislatif. Ratusan mahasiswa Indonesia itu dilaporkan dipekerjakan di sebuah pabrik lensa kontak di Hsinchu.

Mereka bekerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat dan harus berdiri selama 10 jam untuk membungkus setidaknya 30 ribu box lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam.

Taiwan membantah tudingan tersebut dan berjanji akan mengevaluasi skema kuliah-magang yang diakui baru diterapkan pemerintahnya pada 2017 lalu. Sementara itu, Pemerintah Indonesia juga sempat menangguhkan pengiriman mahasiswa skema kuliah-magang ke Taiwan akibat laporan tersebut.